Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

JANJI SEMATI


Seorang laki- laki laut
Berharap aku menganyam jalanya
Agar saat dia bekerja
Ada lelahku bersamanya

Seorang laki- laki laut
Mohon agar aku pilih warna perahunya
Agar di mana pun dia berada
Kehangatan pilihan itu pacu semangatnya

Laki- laki laut itu bertanya..
Bersediakah ??
Dan heningpun jadi panjang

    Namanya Juni, laki- laki berusia 30 tahunan.Tubuhnya sedang, liat dan kokoh. Kulitnya coklat gelap, terpanggang mentari garang. Rambutnya ikal, dengan beberapa bagian kusam memerah. Matanya hitam menikam dengan dagu belah dan  hidung meruncing.Tampan secara keseluruhan. Dia cocok mewakili anekdot " Tuhan pasti sedang senang hati saat menciptakannya.Aku menjumpainya pertama kali di Sage, di sebuah pantai landai berpasir putih.di ujung Lombok. Perahunya yang berwarna terang penuh dengan tumpukan ikan segar sebesar kepalan tangan dan jala yang robek di sana sini.Di sampingnya berdiri seorang perempuan mungil berkerudung yang murah senyum dan berkulit terang dan bertahi lalat di ujung dagu, Ide namanya. Seorang perempuan yang kemudian kutahu adalah istri yang dinikahinya 3 tahun yang lalu dan sekarang sedang mengandung tua, buah cinta mereka.
    Sekilas lihat, aku melihat hubungan di antara mereka sungguh istimewa.Tatap dan pendar bahagia selalu terpancar dari mereka berdua.Sekali- kali, ujung tangan Juni membelai lembut puncak kepaka Ide, atau pun mengusap pelan perut buncitnya.Sementara pada saat yang lain, aku juga memergoki Ide memandang dengan tatapan memuja pada suaminya.' Kami adalah separuh dari masing- masing" kata Juni" Allah menciptakan kami berbarengan untuk disatukan dan tidak dipisahkan, oleh maut sekalipun".Ide tersenyum manis, menandakan dia mengamini kata- kata suaminya.Aku pun ikut tersenyum dan merasakan energi positif yang terpancar dari kemesraan mereka. Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri, namaku Kay, seorang penulis yang sedang " jatuh cinta" pada keindahan Lombok, dan berniat menjadikan daerah ini latar belakang novel terbaruku.
    Di kesempatan lain, aku mengunjungi kediaman sederhana mereka, sebuah rumah bata tanpa polesan yang di halamannya rimbun oleh rumpun bugenvil aneka warna. Saat itu Juni sedang melaut dan aku mengobrol dengan Ide, sebuah percakapan antar perempuan yang menyadarkanku betapa rumah ini penuh cinta. Ditemani segelas teh hangat dan beberapa potong singkong rebus, Ide yang siang itu tampak manis dengan baju terusan bunga- bunga berwarna biru muda dan kerudung senada, mulai bercerita tentang kedekatan antara dia dan suaminya. " Juni selalu melibatkan saya dalam hampir semua kegiatannya mbak,bahkan untuk hal- hal yang seharusnya bisa dia kerjakan sendiri" katanya tanpa nada mengeluh sedikit pun. " Dan ternyata saya menyukainya sangat. Kerena disamping bisa menekan pengeluaran,saya merasa kehadiran saya selalu membersamainya setiap waktu".Ide lalu memberikan contoh tentang pernyataannya itu. Seringkali suaminya memintanya untuk membantu menisik jalanya, bukan karena dia tidak mampu melakukannya, tapi semata- mata karena dia merasa, lewat jala yang tiap saat digunakannya, dia merasakan kehadiran istrinya. Di kesempatan lain, dia  meminta Ide untuk memilih warna perahunya sesuai warna kesayangannya, agar dia merasa wujud pengabdian istrinya menemani perjalanannya mencari nafkah.Sungguh suatu cara yang unik untuk menunjukkan kasih sayang satu sama lain bukan?.
    Setelah obrolan seru kami tersebut, kami maasih sering berhubungan lewat telepon. Saling menanyakan kabar atau Ide bercerita tentang masa kelahiran bayinya yang kian dekat dan rasa pegal yang makin sering datang. Tapi ada suatu masa di mana aku kehilangan kontak, karena  harus melakukan riset untuk calon novelku yang lain, di suatu daerah miskin signal di tengah rimba Kalimantan. Deadline yang mepet dan kesibukan yang lumayan ribet, sejenak membuatku melupakan keluarga muda sahabatku tersbut.
    Sekembalinya di Jakarta, aku mengecek ponselku dan mendapati beberapa miscall dari nomor yang tidak kukenal, tapi berkode area yang sama dengan nomor ponsel Ide.Aku cek tanggalnya, dan itu hari yang sama saat aku mulai menjelajah Kalimantan, seminggu yang lalu. Merasa ada yang tidak beres dengan panggilan tersebut, aku segera menelepon balik. Telepon diangkat dan ada suara seorang laki- laki di ujung sana. Namanya Fatah, sepupu Ide dari pihak ibu.Tanpa banyak basa- basi, Fatah mengabarkan sebuah berita yang amat sangat buruk. Aku kehilangan Ide, Juni dan anak mereka sekaligus seminggu yang lalu.Tanpa pikir panjang, sambil menahan rasa sesak dan kehilangan, aku segera pergi ke bandara dan mencari pesawat pertama yang akan membawaku kembali ke Lombok, yang sayangnya bukan sebuah kunjungan kegembiraan.
    Dan di sinilah sekarang aku berada, di sebuah pemakaman kecil, di antara pusara Ide, suami dan anaknya.Aku tak dapat menahan isakku...Aku merasa sangat kehilangan saat itu. Aku juga menyesal, karena tidak mendengar kabar itu lebih cepat. Taburan melati di gundukan tanah itu sudah mulai mengering, tapi aku merasa mencium aroma wangi melati segar di situ.Kutaruh beberapa batang bunga Sedap malam yang sempat kubeli dalam perjalanan dari bandara, sambil terus mengusap bulir air mata yang tak berhenti menetes.Aku kangen mereka.
    Setelah melihatku agak tenang, Fatah yang menemaniku, mencoba menceritakan kronologis peristiwa yang menyebabkan kepergian keluarga muda itu.Tepat sepuluh hari yang lalu, Juni dan Ide terlibat dalam sebuah pertengkaran kecil, karena Juni hendak melaut di saat Ide sedang menanti saat- saat kelahiran putra mereka
" Kakak, tak usahlah melaut. Bisa jadi besok bayi kita akan lahir, dan kakak berjanji akan menungguiku dan mendampingiku menyambut bayi kita" kata Ide setengah merajuk.
" Tapi tangkapan sedang banyak- banyak dik" kata Juni bersemangat" Lumayan buat menambah uang buat biaya persalinan esok. Aku janji akan pulang besok dan menemanimu mengucapkan selamat datang buat bayi kita"
Dan Ide tahu, Juni bukan orang yang mudah dibujuk. Akhirnya dia mengikhlaskan suaminya pergi. Sebelum berangkat melaut, Juni mengelus lembut perut istrinya yang membuncit dan mengecup keningnya mesra. Ide melepaskan kepergian suaminya dengan rangkuman doa dan mata berkaca- kaca.
    Keesokan harinya, saat mulas semakin kerap datang dengan interval yang semakin pendek, Juni belum juga datang. Ide mondar - mandir sambil mengerenyit menahan sakit. Sampai kemudian sebuah berita yang tak ingin didengar datang. Teman- teman nelayannya pulang tanpa Juni, yang menurut mereka hilang ditelan gelombang besar. Teman- temannya sudah berusaha keras mencari, tapi tak ada jejak yang tertinggal....Berita buruk itu begitu memukul perasaan Ide. Tiba- tiba ada rembesan darah di kakinya. Keluarganya segera membawanya ke rumah sakit terdekat saat itu juga. Dan ternyata Allah lebih menyayanginya. Akibat shock yang dideritanya, Ide mengalami pendarahan hebat, sehingga harus dilaksanakan operasi untuk kehamilannya.Operasi itu tak berjalan lancar dan Ide pergi bersama bayi yang dilahirkannya, seorang putri cantik yang rencananya diberi nama Kayana, seperti namaku.
    Di hari berikutnya, saat keluarga sedang menytiapkan penguburannya, sebuah kabar tentang ditemukannya sesosok mayat di tepi pantai datang. Sosok yang kemudian dikenal sebagai Juni.Dan akhirnya pemakaman mereka bertiga dilaksanakan secara bersamaan.Menetes air mataku mendengar penuturan Fatah. Masih terbayang senda gurau mereka, keakraban yang manis dan apa adanya, juga cinta yang tak pernah mereka sembunyikan.Dan ternyata, Allah mengijinkan mereka untuk meninggal di saat yang hampir bersamaan, walau dengan sebab yang berbeda, sesuai dengan kata- kata Juni tempo hari. Bagi mereka, janji hidup terasa tak cukup. Dan janji mati yang mereka ikrarkan, Allah kabulkan. Lombok tanpa keluarga mereka tak pernah sama lagi...aku berjalan, menyusur sepi......
· · · Share · Delete

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar